Usia
Dan Masa Haid
Usia
Haid
Usia haid biasanya
antara 12 sampai dengan 50 tahun Dan kemungkinan seorang wanita sudah
mendapatkan haid sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid sesudah usia
50 tahun. Itu semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim yang
mempengaruhinya.
Para ulama,
rahimahullah, berbeda pendapat tentang apakah ada batasan tertentu bagi usia
haid, di mana seorang wanita tidak mendapatkan haid sebelum atau sesudah usia
tersebut?
Ad-Darimi, setelah
menyebutkan perbedaan pendapat dalam masalah ini, mengatakan: "Hal ini semua,
menurut saya, keliru. Sebab, yang menjadi acuan adalah keberadaan darah.
Seberapa pun adanya, dalam kondisi bagaimana pun, dan pada usia berapapun, darah
tersebut wajib dihukumi sebagai darah haid. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu.
(Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, Juz 1, hal 486)
Pendapat Ad-Darimi
inilah yang benar dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi, kapan
pun seorang wanita mendapatkan darah haid berarti ia haid, meskipun usianya
belum mencapai 9 tahun atau di atas 50 tahun. Sebab, Allah dan Rasul-Nya
mengaitkan hukum-hukum haid pada keberadaan darah tersebut, serta tidak
memberikan batasan usia tertentu. Maka, dalam masalah ini, wajib mengacu kepada
keberadaan darah yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan padahal
tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hal tersebut .
Masa
Haid
Para ulama berbeda
pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh
pendapat dalam hal ini.
Ibnu Al-Mundzir
mengatakan: "Ada kelompok yang berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai
batasan berapa hari minimal atau maksimalnya''. Pendapat ini seperti pendapat
Ad-Darimi di atas, dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah
yang benar berdasarkan Al Qur'an, Sunnah dan logika.
Dalil pertama:
Firman Allah Ta
'ala:
"Mereka bertanya
kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu suatu kotoran". Oleh sebab itu,
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haid; dan janganlah kamu
mendekati mereka sebelum mereka suci" (Al-Baqarah :222).
Dalam ayat ini,
yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan
berlalunya sehari-semalam, ataupun tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini
menunjukkan bahwa illat (alasan) hukumnya adalah haid, yakni ada atau tidaknya.
Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan jika telah suci(tidakhaid)
tidakberlaku lagi hukum-hukum haid tersebut.
Dalil kedua:
Diriwayatkan dalam
Shahih Muslim bahwa Nabi bersabda kepada Aisyah yang mendapatkan haid ketika
dalam keadaan ihram untuk umrah:
"Lakukanlah apa
yang dilakukan jemaah haji, hanya saja jangan melakukan tawaf di ka'bah sebelum
kamu suci". Kata Aisyah: "Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku
suci".
Dalam Shahih Al
Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasalam bersabda kepada
Aisyah:
"Tunggulah. Jika
kamu suci, maka keluarlah ke Tan'im"
Dalam hadits ini,
yang dijadikan Nabi sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan suatu
masa tertentu. Ini menunjukkan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni
ada dan tidaknya.
Dalil ketiga:
Bahwa pembatasan
dan rincian yang disebutkan para fuqaha dalam masalah ini tidak terdapat dalam
Al Qur'an maupun Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasalam ; padahal ini
perlu, bahkan amat mendesak untuk dijelaskan. Seandainya batasan dan rincian
tersebut termasuk yang wajib dipahami oleh manusia dan diamalkan dalam
beribadah kepada Allah, niscaya telah dijelaskan secara gamblang oleh Allah dan
Rasul-Nya kepada setiap orang, mengingat pentingnya hukum-hukum yang
diakibatkannya yang berkenaan dengan shalat, puasa, nikah, talak, warisan dan
hukum lainnya.
Sebagaimana Allah
dan Rasul-Nya telah menjelaskan tentang shalat: jumlah bilangan rakaatnya,
waktu-waktunya, ruku' dan sujudnya; tentang zakat: jenis hartanya, nisabnya,
persentasenya dan siapa yang berhak menerimanya; tentang puasa: waktu dan
masanya; tentang haji dan masalah-masalah lainnya, bahkan tentang etiket makan,
minum, tidur, jima' (hubungan suami-isteri), duduk, masuk dan keluar rumah,
buang hajat, sampai jumlah bilangan batu untuk bersuci dari buang hajat, dan
perkara-perkara lainnya baik yang kecil maupun yang besar, yang merupakan
kelengkapan agama dan kesempumaan nikmat yang dikaruniakanAllah kepada kaum
Mu'minin.
Oleh karena
pembatasan dan rincian tersebut tidak terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi
SAW maka nyatalah bahwa hal itu tidak dapat dijadikan patokan. Namun, yang
sebenarnya dijadikan patokan adalah keberadaan haid, yang telah dikaitkan dengan
hukum-hukum syara' menurut ada atau tidaknya.
Dalil ini - yakni
suatu hukum tidak dapat diterima jika tidak terdapat dalam Kitab dan Sunnah -
berguna bagi Anda dalam masalah ini dan masalah-masalah ilmu agama lainnya,
karena hukum-hukum syar'i tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan dalil
syar'i dari Kitab Allah, atau Sunnah Rasul-Nya atau ijma' yang diketahui, atau
qiyas yang shahih.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam salah satu kaidah yang dibahasnya, mengatakan: "Di antara sebutan
yang dikaitkan oleh Allah dengan berbagai hukum dalam Kitab dan Sunnah, yaitu
sebutan haid. Allah tidak menentukan batas minimal dan maksimalnya, ataupun masa
suci diantara dua haid. Padahal umat membutuhkannya dan banyak cobaan yang
menimpa mereka karenanya. Bahasa pun tidak membedakan antara satu batasan dengan
batasan lainnya. Maka barangsiapa menentukan suatu batasan dalam masalah ini,
berarti ia telah menyalahi Kitab dan Sunnah.
Dalil keempat:
Logika atau qiyas
yang benar dan umum sifatnya. Yakni, bahwa Allah menerangkan 'illat (alasan)
haid sebagai kotoran. Maka manakala haid itu ada, berarti kotoran pun ada. Tidak
ada perbedaan antara hari kedua dengan hari pertama, antara hari keempat dengan
hari ketiga. Juga tidak ada perbedaan antara hari keenam belas dengan hari
kelima belas, atau antara hari kedelapanbelas dengan hari ketujuh belas. Haid
adalah haid dan kotoran adalah kotoran. Dalam kedua hari tersebut terdapat
'illat yang sama. Jika demikian. Bagaimana mungkin dibedakan dalam hukum di
antara kedua hari itu, padahal keduanya sama dalam 'illat? Bukankah hal
inibertentangandengan qiyas yang benar? Bukankah menurut qiyas yang benar bahwa
kedua hari tersebut sama dalam hukum karena kesamaan keduanya dalam 'illat?
Dalil kelima:
Adanya perbedaan
dan silang pendapat dikalangan ulama yang memberikan batasan, menunjukkanbahwa
dalam masalah ini tidak ada dalil yang harus dijadikan patokan. Namun, semua itu
merupakan hukum-hukum ijtihad yang bisa salah dan bisa juga benar, tidak ada
satu pendapat yang lebih patut diikuti daripada lainnya. Dan yang menjadi acuan
bila terjadi perselisihan pendapat adalah Al Qur'an dan Sunnah.
Jika ternyata
pendapat yang menyatakan tidak ada batas minimal atau maksimal haid adalah
pendapat yang kuat dan yang rajih, maka perlu diketahui bahwa setiap kali wanita
melihat darah alami, bukan disebabkan luka atau lainnya, berarti darah itu
darah haid, tanpa mempertimbangkan masa atau usia. Kecuali apabila keluamya
darah itu terus menerus tanpa henti atau berhenti sebentar saja seperti sehari
atau dua hari dalam sebulan, maka darah tersebut adalah darah istihadhah.
Dan akan
dijelaskan, Insya Allah, tentang istihadhah dan hukum-hukumnya.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah mengatakan: "Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim
adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu
istihadhah." Kata beliau pula: "Maka darah yang keluar adalah haid, bila tidak
diketahui sebagai darah penyakit atau karena luka."
Pendapat ini
sebagaimana merupakan pendapat yang kuat berdasarkan dalil, juga merupakan
pendapat yang paling dapat dipahami dan dimengerti serta lebih mudah diamalkan
dan diterapkan daripada pendapat mereka yang memberikan batasan. Dengan
demikian,pendapat inilah yang lebih patut diterima karena sesuai dengan semangat
dan kaidah agama Islam, yaitu: mudah dan gampang.
Firman Allah Ta
'ala:
"Dan Dia (Allah)
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. " (Al Hajj
: 78 )
Sabda Rasulullah
shallallahu alaihi wasalam :
"Sungguh agama
(Islam) itu mudah. Dan tidakseorang pun mempersulit (berlebih-lebihan) dalam
agamanya kecuali akan terkalahkan. Maka berlakulah lurus, sederhana (tidak
melampaui batas) dan sebarkan kabar gembira. " (Hadits riwayat Al Bukhari).
Dan di antara
akhlak Nabi shallallahu alaihi wasalam bahwajika beliau diminta memilih antara
dua perkara, maka dipilihnya yang termudah selama tidak merupakan perbuatan
dosa.
sumber: File CHM by Abu 'Abdirrahman Muhammad Taufiq
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentarlah yang santun dan bijak