Hukum-Hukum Haid
Terdapat banyak
hukum haid, ada lebih dari dua puluh hukum. Dan kami sebutkan di sini
hukum-hukum yang kami anggap banyak diperlukan, antara lain:
1.
ShalatDiharamkan bagi
wanita haid mengerjakan shalat, baik fardhu maupun sunat, dan tidak sah
shalatnya. Juga tidak wajib baginya mengerjakan shalat, kecuali jika ia
mendapatkan sebagian dari waktunya sebanyak satu rakaat sempurna, baik pada awal
atau akhir waktunya.
Contoh pada awal
waktu: seorang wanita haid setelah matahari terbenam tetapi ia sempat
mendapatkan sebanyak satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya, setelah
suci, mengqadha' shalat maghrib tersebut karena ia telah mendapatkan sebagian
dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat sebelum kedatangan haid.
Adapun contoh
pada akhir waktu, seorang wanita suci dari haid sebelum matahari terbit dan
masih sempat mendapatkan satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya, setelah
bersuci, mengqadha' shalat Subuh tersebut karena ia masih sempat mendapatkan
sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat. Namun, jika wanita yang
haid mendapatkan sebagian dari waktu shalat yang tidak cukup untuk satu rakaat
sempuma; seperti: kedatangan haid - pada contoh pertama - sesaat setelah
matahari terbenam, atau suci dari haid - pada contoh kedua - sesaat sebelum
matahari terbit, maka shalat tersebut tidak wajib baginya. Berdasarkan sabda
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari
shalat, maka dia telah mendapatkan shalat itu.” (Hadits Muttafaq 'alaih).
Pengertiannya,
siapa yang mendapatkan kurang dari satu rakaat berarti tidak mendapatkan shalat
tersebut.
Jika seorang
wanita haid mendapatkan satu rakaat dari waktu Asar, apakah wajib baginya
mengerjakan shalat dzuhur bersama Ashar, atau mendapatkan satu rakaat dari waktu
Isya' apakah wajib baginya mengerjakan shalat Maghrib bersama Isya'?
Terdapat
perbedaan pendapat diantara para ulama dalam masalah ini. Dan yang benar, bahwa
tidak wajib baginya kecuali shalat yang didapatkan sebagian waktunya saja, yaitu
shalat Ashar dan Isya'. Karena sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam :
"Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Ashar sebelum matahari
terbenam, maka dia telah mendapatkan shalat Ashar itu ': (Hadits muttafaq
'alaih).
Nabi tidak
menyatakan "maka ia telah mendapatkan shalat Zuhur dan Ashar", juga tidak
menyebutkan kewajiban shalat Zhuhur baginya. Dan menurut kaidah,
seseorang itu pada prinsipnya bebas dari tanggungan. Inilah madzhab Imam Abu
Hanifah dan Imam Malik, sebagaimana disebutkan dalam kitab Syarh Al-Muhadzdzab.
9 (Syarh Al-Muhadzdzab, Juz 3, hal. 70.)
Adapun membaca
dzikir, takbir, tasbih, tahmid dan bismillah ketika hendak makan atau pekerjaan
lainnya, membaca hadits, fiqh, do'a dan aminnya, serta mendengarkan Al Qur'an,
maka tidak diharamkanbagi wanita haid. Hal ini berdasarkan hadits dalam Shahih
Al Bukhari - Muslim dan kitab lainnya bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
pemah bersandar di kamar Aisyah Radhiyallahu 'anha yang ketika itu sedang haid,
lain beliau membaca Al Qur'an.
Diriwayatkan pula
dalam Shahih At Bukhari - Muslim dari Ummu 'Athiyah Radhiyallahu 'anha bahwa ia
mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Agar keluar para gadis,
perawan dan wanita haid - yakni ke shalat Idul Fitri dan Adha - serta supaya
mereka ikut menyaksikan kebaikan dan doa orang-orang yang beriman. Tetapi wanita
haid menjauhi tempat shalat.”’
Sedangkan membaca
Al Qur'an bagi wanita haid itu sendiri, jika dengan mata atau dalam hati tanpa
diucapkan dengan lisan maka tidak apa-apa hukumnya. Misalnya, mushaf atau
lembaran Al Qur'an diletakkaan lalu matanya menatap ayat-ayat seraya hatinya
membaca. Menurut An-Nawawi dalam kitab Syarh AlMuhadzdzab hal ini boleh, tanpa
ada perbedaan pendapat.
Adapun jika wanita
haid itu membaca Al Qur'an dengan lisan, maka banyak ulama mengharamkannya dan
tidak membolehkannya. Tetapi Al-Bukhari, Ibnu JarirAt-Thabari dan Ibnul Mundzir
membolehkannya. Juga boleh membaca ayat Al-Qur'an bagi wanita haid, menurut
Malik dan Asy-Syafi'i dalam pendapatnya yang terdahulu, sebagaimana disebutkan
dalam kitab Fathul Bari ",serta menurut Ibrahim An-Nakha'i sebagaimana
diriwayatkan Al-Bukhari. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa
kumpulan Ibnu Qasim mengatakan: "Pada dasarnya, tidak ada hadits yang melarang
wanita haid membaca Al Qur'an.
Sedangkan pemyataan
"Wanita haid dan orang junub tidak boleh membaca ayat Al qur 'an " adalah
hadits dhaif menurut kesepakatan para ahli hadits. Seandainya wanita haid
dilarang membaca Al Qur'an, seperti halnya shalat, padahal pada zaman Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam kaum wanita pun mengalami haid, tentu hal ini
termasuk yang dijelaskan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada umatnya,
diketahui para isteri beliau sebagai ibu-ibu kaum mu'minin, serta disampaikan
para sahabat kepada orang-orang. Namun, tidak ada seorangpun yang menyampaikan
bahwa ada larangan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam masalah ini.
Karena itu, tidak boleh dihukumi haram selama diketahui bahwa Nabi tidak
melarangnya. Jika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak melarangnya, padahal
banyak pula wanita haid pada zaman beliau, berarti hal ini tidak haram
hukumnya."
Setelah mengetahui
perbedaan pendapat di antara para ulama, seyogyanya kita katakan, lebih utama
bagi wanita haid tidak membaca Al Qur'an secara lisan, kecuali jika diperlukan.
Misalnya, seorang guru wanita yang perlu mengajarkan membaca Al Qur'an kepada
siswi-siswinya, atau seorang siswi yang pada waktu ujian perlu diuji dalam
membaca Al Qur'an, dan lain sebagainya.
2.
PuasaDiharamkan bagi
wanita haid berpuasa, baik puasa wajib maupun sunat, dan tidak sah puasa yang
dilakukannya. Akan tetapi ia berkewajiban mengqadha' puasa yang wajib,
berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha: "Ketika kami mengalami haid,
diperintahkan kepada kami meng-qadha' puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha'
shalat". (Hadits muttafaq 'alaih).
Jika seorang
wanita kedatangan haid ketika sedang berpuasa maka batallah puasanya, sekalipun
hal itu terjadi sesaat menjelang maghrib, dan wajib baginya mengqadha' puasa
hari itu jika puasa wajib. Namun, jika ia merasakan tanda-tanda akan datangnya
haid sebelum maghrib, tetapi baru keluar darah setelah maghrib, maka menurut
pendapat yang shahih bahwa puasanya itu sempuma dan tidak batal. Alasannya,
darah yang masih berada di dalam rahim belum ada hukumnya. Nabi shallallahu
'alaihi wasallam ketika ditanya tentang wanita yang bermimpi dalam tidur seperti
mimpinya orang laki-laki, apakah wajib mandi? Beliau pun menjawab: " Ya, jika
wanita itu melihat adanya air mani"
Dalam hadits ini
Nabi mengaitkan hukum dengan melihat air mani, bukan dengan tanda-tanda akan
keluarnya. Demikian pula masalah haid, tidak berlaku hukum-hukumnya kecuali
dengan melihat adanya darah keluar, bukan dengan tanda-tanda akan
keluarnya.
Juga jika pada saat
terbitnya fajar seorang wanita masih dalam keadaan haid maka tidak sah berpuasa
pada hari itu, sekalipun ia suci sesaat setelah fajar. Tetapi jika suci
menjelang fajar, maka sah puasanya sekalipun ia baru mandi setelah terbit
fajar. Seperti halnya orang dalam keadaan junub, jika berniat puasa ketika masih
dalam keadaan junub dan belum sempat mandi kecuali setelah terbit fajar, maka
sah puasanya. Dasarya, hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha, katanya: "Pernah suatu
pagi pada bulan Ramadhan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam keadaan junub
karena jima', bukan karena mimpi, lalu beliau berpuasa". (Hadits muttafaq
'alaih).
3.
TawafDiharamkan bagi
wanita haid melakukan thawaf di Ka'bah, baik yang wajib maupun sunat, dan tidak
sah thawafnya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada
Aisyah: "Lakukanlah apa yang dilakukan jemaah haji, hanya saja jangan melakukan
tawaf di Ka'bah sebelum kamu suci.”
Adapun kewajiban
lainnya, seperti sa'i antara Shafa dan Marwah, wukuf di Arafah, bermalam di
Muzdalifah dan Mina, melempar jumrah dan amalan haji serta umrah selain itu,
tidak diharamkan. Atas dasar ini, jika seorang wanita melakukan thawaf dalam
keadaan suci, kemudian keluar haid langsung setelah thawaf, atau di
tengah-tengah melakukan sa'i, maka tidak apa-apa hukumnya.
4.
Thawaf
Wada'
Jika seorang
wanita telah mengejakan seluruh manasik haji dan umrah, lain datang haid
sebelum keluar untuk kembali ke negerinya dan haid ini terus berlangsung sampai
ia keluar, maka ia boleh berangkat tanpa thawaf wada'. Dasarya, hadits Ibnu
Abbas Radhiyallahu 'anhuma:
"Diperintahkan
kepada jemaah haji agar saat-saat terakhir bagi mereka berada di Baitullah
(melakukan thawaf wada'), hanya saja hal itu tidak dibebankan kepada wanita
haid. " (Hadits Muttafaq 'Alaih).
Dan tidak
disunatkan bagi wanita haid ketika hendak bertolak, mendatangi pintu Masjidil
Haram dan berdo'a. Karena hal ini tidak ada dasar ajarannya dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam , sedangkan seluruh ibadah harus berdasarkan pada
ajaran (sunnah) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam . Bahkan, menurut ajaran
(sunnah) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah sebaliknya. Sebagaimana
disebutkan dalam kisah Shafiyah, Radhiyallahu 'anha, ketika dalam keadaan haid
setelah thawaf ifadhah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya:
"Kalau demikian, hendaklah ia berangkat" (Hadits Muttafaq 'Alaih).
Dalam hadits
ini, Nabi tidak menyuruhnya mendatangi pintu Masjidil Haram. Andaikata hal itu
disyariatkan, tentu Nabi sudah menjelaskannya. Adapun thawaf untuk haji dan
umrah tetap wajib bagi wanita haid, dan dilakukan setelah suci.
5.
Berdiam dalam
Masjid
Diharamkan bagi
wanita haid berdiam dalam masjid, bahkan diharamkan pula baginya berdiam dalam
tempat shalat Ied. Berdasarkanhadits Ummu Athiyah Radhiallahu bahwa ia mendengar
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid...Tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat." (Hadits Muttafaq 'Alaih).
"Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid...Tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat." (Hadits Muttafaq 'Alaih).
6.
Jima' (senggama)
Diharamkan bagi
sang suami melakukan jima'dengan isterinya yang sedang haid, dan diharamkan bagi
sang isteri memberi kesempatan kepada suaminya melakukan hal tersebut.
Dalilnya, firman Allah Ta 'ala: "Mereka bertanya kepadamu tentang haid.
Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran': Oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktuu haid dan janganlah kamu mendekati mereka
sebelum mereka besuci…." (Al-Baqarah: 222)
Yang dimaksud
dengan ….. dalam ayat di atas adalah waktu haid atau tempat keluamya yaitu farji
(vagina).Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Lakukan apa saja,
kecuali nikah (yakni: bersenggama)." (Hadits riwayat Muslim).
Umat Islam juga
telah berijma' (sepakat) atas dilarangnya suami melakukan jima ' dengan
isterinya yang sedang haid dalam farjinya. Oleh karena itu, tidak halal bagi
orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian melakukan perbuatan mungkar
ini, yang telah dilarang oleh Kitab Allah, sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi
wasallam dan ijma' ummat Islam. Maka siapa yang melanggar larangan ini, berarti
ia telah memusuhi Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti selain jalan orang-orang
yang beriman.
An-Nawawi dalam
kitab Al-Majmu' Syarh AlMuhadzdzab mengatakan: "Imam Asy-Syafi'i berpendapat
bahwa orang yang melakukan hal itu telah berbuat dosa besar. Dan menurut para
sahabat kami serta yang lainnya, orang yang menghalallkan senggama dengan isteri
yang haid hukumnya kafir."
Untuk menyalurkan
syahwatnya, suami diperbolehkan melakukan selain jima' (senggama), seperti:
berciuman, berpelukan dan bersebadan pada selain daerah farji
(vagina).
Namun, sebaiknya,
jangan bersebadan pada daerah antara pusat dan lutut kecuali jika sang isteri
mengenakan kain penutup. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Aisyah
Radhiallahu 'anha: "Pernah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkain, lalu
beliau menggauliku sedang aku dalam keadaan haid." (Hadits muttafaq
'alaih).
7.
Talak
Diharamkan bagi seorang suami mentalak isterinya yang sedang haid, berdasarkan firman Allah Ta 'ala:
Diharamkan bagi seorang suami mentalak isterinya yang sedang haid, berdasarkan firman Allah Ta 'ala:
"Hai Nabi, apabila
Kamu menceraikan isteri-terimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu
mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) ... "(Ath-Thalaq: 1)
Maksudnya,
isteri-isteri itu ditalak dalam keadaan dapat menghadapi iddah yang jelas.
Berarti, mereka tidak ditalak kecuali dalam keadaan hamil atau suci sebelum
digauli.
Sebab, jika seorang
isteri ditalak dalam keadaan haid, ia tidak dapat menghadapi iddahnya karena
haid yang sedang dialami pada saat jatuhnya talak itu tidak dihitung termasuk
iddah.
Sedangkan jika
ditalak dalam keadaan suci setelah digauli, berarti iddah yang dihadapinya
tidakjelas karena tidak dapat diketahui apakah ia hamil karena digauli tersebut
atau tidak. Jika hamil, maka iddahnya dengan kehamilan; danjika tidak, maka
iddahnya dengan haid. Karena belum dapat dipastikan jenis iddahnya, maka
diharamkan bagi sang suami mentalak isterinya sehingga jelas permasalahan
tersebut.
Jadi, mentalak isteri yang sedang haid haram hukumnya. Berdasarkan ayat di atas dan hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim serta kitab hadits lainnya, bahwa ia telah menceraikan isterinya dalam keadaan haid, maka Umar (bapaknya) mengadukan hal itu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam . Maka, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun marah dan bersabda: "Suruh ia merujuk isterinya kemudian mempertahankannya sampai ia suci, lalu haid lalu suci lagi. Setelah itu, jika ia mau, dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli. Karena itulah iddah yang diperintahkan Allah dalam mentalak isteri."
Jadi, mentalak isteri yang sedang haid haram hukumnya. Berdasarkan ayat di atas dan hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim serta kitab hadits lainnya, bahwa ia telah menceraikan isterinya dalam keadaan haid, maka Umar (bapaknya) mengadukan hal itu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam . Maka, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun marah dan bersabda: "Suruh ia merujuk isterinya kemudian mempertahankannya sampai ia suci, lalu haid lalu suci lagi. Setelah itu, jika ia mau, dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli. Karena itulah iddah yang diperintahkan Allah dalam mentalak isteri."
Dengan
demikian,berdosalah seorang suami andai kata mentalak isterinya yang sedang
haid. Ia harus bertaubat kepada Allah dan merujuk isterinya untuk kemudian
mentalaknya secara syar'i sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Yakni,
setelah merujuk isterinya hendaklah ia membiarkannya' sampai suci dari haid yang
dialaminya ketika ditalak, kemudian haid lagi, setelah itu jika ia menghendaki
dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli.
Dalam hal
diharamkannya mentalak isteri yang sedang haid ada tiga masalah yang
dikecualikan:
1.
Jika talak terjadi sebelum berkumpul dengan isteri atau sebelum
menggaulinya (dalam keadaan pengantin baru misalnya, pent.), maka boleh
mentalaknya dalam keadaan haid. Sebab, dalam kasus demikian, si isteri tidak
terkena iddah, maka talak tersebut pun tidak menyalahi firman :
"Maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat ( menghadapi) iddahnya (yang
wajar)…". (Ath-Thalaq : 1)
2.
Jika haid terjadi dalam keadaan hamil, sebagaimana telah dijelaskan
sebabnya pada pasal terdahulu.
3.
Jika talak tersebut atas dasar 'iwadh (penggantian), maka boleh bagi
suami menceraikan isterinya yang sedang haid.
Misalnya, terjadi
percekcokan dan hubungan yang tidak harmonis lagi antara suami-isteri. Lalu si
isteri meminta suami agar mentalaknya dan suami memperoleh ganti rugi karenanya,
maka hal itu boleh sekalipun isteri dalam keadaan haid. Berdasarkan hadits dari
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma: " Bahwa isteri Tsabit bin Qais bin Syammas
datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata : "Ya Rasulullah,
sungguh aku tidak mencelanya dalam akhlak maupun agamanya, tetapi aku takut akan
kekafiran dalam Islam." Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya : "Maukah
kamu mengembalikan kepadanya?" Wanita itu menjawab: "Ya" Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam pun bersabda (kepada suaminya): "Terimalah kebun itu, dan
ceraikanlah ia" (Hadits riwayat Al-Bukhari).
Dalam hadits tadi
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak bertanya apakah si isteri sedang haid
atau suci. Dan karena talak ini dibayar oleh pihak isteri dengan tebusan atas
dirinya maka hukumnya boleh dalam keadaan bagaimanapun, jika memang diperlukan
Dalam kitab Al-Mughni disebutkan tentang alasan bolehnya khulu' (cerai atas
permintaan pihak isteri dengan membayar tebusan) dalam keadaanhaid: "Dilarangnya
talak dalam keadaan haid adalah adanya madhmat (bahaya) bagi si isteri dengan
menunggu lamanya masa 'iddah. Sedang khulu ' adalah untuk menghilangkan
madhmat bagi si isteri disebabkan hubungan yang tidak harmonis dan sudah
tidak tahan tinggal bersama suami yang dibenci dan tidak disenanginya. Hal
ini tentu lebih besar madharatnya bagi si isteri daripada menunggu lamanya
masa 'iddah, maka diperbolehkan menghindari madharat yang lebih besar dengan
menjalani sesuatu yang lebih ringan madharatnya.
Karena itu Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam tidak bertanya kepada wanita yang meminta Khulu'
tentang keadaannya. Dan dibolehkan melakukan akad nikah dengan wanita yang
sedang haid, karena hal itu pada dasamya adalah halal, dan tidak ada dalil yang
melarangnya. Namun, perlu dipertimbangkan bila suami diperkenankan berkumpul
dengan isteri yang sedang dalam keadaan haid. Jika tidak dikhawatirkan akan
menggauli isterinya yang sedang haid tidak apa-apa. Sebaliknya, jika
dikhawatirkan maka tidak diperkenankan berkumpul dengannya sebelum suci untuk
menghindari hal-hal yang dilarang.
8.
Iddah talak
dihitung dengan haid.
Jika seorang suami
menceraikan isteri yang telah digauli atau berkumpul dengannya,maka si isteri
harus beriddah selama tiga kali haid secara sempurna apabila termasuk wanita
yang masih mengalami haid dan tidak hamil. Hal ini didasarkan pada firman
Allah:
"Wanita-wanita yang
ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'…" (Al-Baqarah :
28).
Tiga kali guru'
artinya tiga kali haid. Tetapi jika si isteri dalam keadaan hamil, maka
iddahnya ialah sampai melahirkan, baik masa iddahnya itu lama maupun sebentar.
Berdasarkan firman Allah:
"….Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya…" (Ath-Thalaq: 4)
Jika si isteri
termasuk wanita yang tidak haid, karena masih kecil dan belum mengalami haid,
atau sudah menopause, atau karena pernah operasi pada rahimnya, atau sebab-sebab
lain sehingga tidak diharapkan dapat haid kembali, maka iddahnya adalah tiga
bulan. Sebagaimana firman Allah:
"Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya…" (Ath-Thalaq:4)
Jika si isteri
termasuk wanita yang masih mengalami haid, tetapi terhenti haidnya karena suatu
sebab yang jelas seperti sakit atau menyusui, maka ia tetap dalam iddahnya
sekalipun lama masa iddahnya sampai ia kembali mendapati haid dan ber-iddah
dengan haid itu. Namun jika sebab itu sudah tidak ada,seperti sudah sembuh dari
sakit atau telah selesai dari menyusui sementara haidnya tak kunjung datang,
maka iddahnya satu tahun penuh terhitung mulai dari tidak adanya sebab tersebut.
Inilah pendapat yang shahih yang sesuai dengan kaidah-kaidah syar'iyah Dengan
alasan, jika sebab itu sudah tidak ada sementara haid tak kunjung datang maka
wanita tersebut hukumnya seperti wanita yang terhenti haidnya karena sebab yang
tidak jelas. Dan jika terhenti haidnya karena sebab yang tidakjelas, maka
iddahnya yaitu satu tahun penuh dengan perhitungan: sembilan bulan sebagai
sikap hati-hati untuk kemungkinan hamil(karena masa kehamilan pada umumnya 9
bulan) dan tiga bulan untuk iddahnya.
Adapun jika talak
terjadi setelah akad nikah sedang sang suami belum mencampuri dan menggauli
isterinya, maka dalam hal ini tidak ada iddah sama sekali, baik dengan haid
maupun yang lain. Berdasarkan firman Allah :
"Hai
orang-orangyang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang
beriman, kemudian kamu menceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka
sekali-kali tidak wajib iddah yang kamu minta menyempurnakannya..." (Al-Ahzaab:
49 )
9.
Keputusan
bebasnya rahim
Yakni keputusan
bahwa rahim bebas dari kandungan. Ini diperlukan selama keputusan bebasnya rahim
dianggap perlu, karena hal ini berkaitan dengan beberapa masalah.
Antara lain,
apabila seseorang mati dan meninggalkan wanita (isteri) yang kandungannya dapat
menjadi ahli waris orang tersebut, padahal si wanita setelah itu bersuami
lagi.
Maka suaminya yang
barn itu tidak boleh menggaulinya sebelum ia haid atau jelas kehamilannya. Jika
telah jelas kehamilannya, maka kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya
mendapatkan hak warisan karena kita putuskan adanya janin tersebut pada saat
bapaknya mati.
Namun, jika wanita
itu pernah haid (sepeninggal suaminya yang pertama), maka kita hukumi bahwa
janin yang dikandungnya tidak mendapatkan hak warisan karena kita putuskan bahwa
rahim wanita tersebut bebas dari kehamilan dengan adanya haid.
10.
Kewajiban
mandi.
Wanita haid jika
telah suci wajib mandi dengan membersihkan seluruh badannya. Berdasarkan sabda
Nabi kepada Fatimah binti Abu Hubaisy:
"Bila kamu
kedatangan haid maka tinggalkan shalat, dan bila telah suci mandilah dan
kerjakan shalat." (Hadits riwayat Al-Bukhari).
Kewajiban
minimal dalam mandi yaitu membersihkan seluruh anggota badan sampai bagian kulit
yang ada di bawah rambut. `Yang afdhal (lebih utama), adalah sebagaimana
disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tatkala ditanya oleh
Asma binti Syakl tentang mandi haid, beliau bersabda:
"Hendaklah
seseorang diantara kamu mengambil air dan daun bidara lalu berwudhu sempurna,
kemudian menguyurkan air diatas kepala dan menggosok-gosoknya dengan kuat
sehingga merata keseluruh kepalanya, selanjutnya mengguyurkan air pada anggota
badannya. Setelah itu mengambil sehelai kain putih yang ada pengharumnya untuk
bersuci dengannya. 'Asma bertanya: "Bagaimana bersuci dengannya?" Nabi menjawab:
"Subhanallah." Maka Aisyah pun menerangkan dengan berkata: "Ikutilah bekas-bekas
darah." (HR. Muslim )
Tidak wajib
melepas gelungan rambut, kecuali jika terikat kuat dan dikhawatirkan air
tidak sampai kedasar rambut. Hal ini didasarkan pada hadits yang tersebut dalam
Shahih Muslim Mtrslim dari Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha bahwa ia bertanya
kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Aku seorang wanita yang menggelung
rambutku, haruskah aku melepaskannya untuk mandi janabat?" Menurut riwayat lain
"untuk (mandi) haid danJanabat?" Nabi bersabda :"Tidak. Cukup kamu siram
kepalamu tiga kali siraman (dengan tanganmu), lalu kamu guyurkan air ke seluruh
tubuhmu, maka kamupun menjadi suci."
Apabila wanita
haid mengalami suci di tengah-tengah waktu shalat, ia harus segera mandi agar
dapat melakukan shalat pada waktunya. Jika ia sedang dalam perjalanan dan tidak
ada air, atau ada air tetapi takut membahayakan dirinya dengan menggunakan air,
atau sakit dan berbahaya baginya air, maka ia boleh bertayammum sebagai ganti
dari mandi sampai hal yang menghalanginya itu tidak ada lagi, kemudian
mandi.
Ada di antara kaum wanita yang suci di tengah-tengah waktu shalat
tetapi menunda mandi ke waktu lain, dalihnya: ''Tidak mungkin dapat mandi
sempurna pada waktu sekarang ini." Akan tetapi ini bukan alasan ataupun halangan
karena boleh baginya mandi sekedar untuk memenuhi yang wajib dan melaksanakan
shalat pada waktunya. Apabila kemudian ada kesempatan lapang, barulah ia dapat
mandi dengan sempurna.
sumber: File CHM by Abu 'Abdirrahman Muhammad Taufiq
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentarlah yang santun dan bijak