Nifas Dan Hukum-Hukumnya
1.
Makna
Nifas
Nifas ialah
darah yang keluar dari rahim disebabkan kelahiran, baik bersamaan dengan
kelahiran itu, sesudahnya atau sebelumnya ( 2 atau 3 hari) yang disertai dengan
rasa sakit.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah mengatakan: "Darah yang dilihat seorang wanita ketika mulai merasa
sakit adalah nifas." Beliau tidak memberikan batasan 2 atau 3 hari. Dan
maksudnya yaitu rasa sakit yang kemudian disertai kelahiran. Jika tidak, maka
itu bukan nifas.
Para ulama
berbeda pendapat tentang apakah masa nifas itu ada batas minimal dan
maksimalnya. Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya tentang sebutan yang
dijadikan kaitan hukum oleh Pembawa syari'at, halaman 37 Nifas tidak ada batas
minimal maupun maksimalnya. Andai kata ada seorang wanita mendapati darah lebih
dari 40, 60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu adalah nifas. Namun jika
berlanjut terus maka itu darah kotor, dan bila demikian yang terjadi maka
batasnya 40 hari, karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan
oleh banyak hadits."
Atas dasar ini,
jika darah nifasnya melebihi 40 hari, padahal menurut kebiasaannya sudah
berhenti setelah masa itu atau tampak tanda-tanda akan berhenti dalam waktu
dekat, hendaklah si wanita menunggu sampai berhenti. Jika tidak, maka ia mandi
ketika sempurna 40 hari karena selama itulah masa nifas pada umumnya. Kecuali,
kalau bertepatan dengan masa haidnya maka tetap menunggu sampai habis masa
haidnya. Jika berhenti setelah masa (40hari) itu, maka hendaklah hal tersebut
dijadikan sebagai patokan kebiasaannya untuk dia pergunakan pada masa
mendatang.
Namun jika
darahnya terus menerus keluar berarti ia mustahadhah. Dalam hal ini, hendaklah
ia kembali kepada hukum-hukum wanita mustahadhah yang telah dijelaskan pada
pasal sebelumnya. Adapun jika si wanita telah suci dengan berhentinya darah
berarti ia dalam keadaan suci, meskipun sebelum 40 hari. Untuk itu hendaklah ia
mandi, shalat, berpuasa dan boleh digauli oleh suaminya. Terkecuali, jika
berhentinya darah itu kurang dari satu hari maka hal itu tidak dihukumi suci.
Demikian disebutkan dalam kitab Al-Mughni.
Nifas tidak
dapat ditetapkan, kecuali jika si wanita melahirkan bayi yang sudah berbentuk
manusia. Seandainya ia mengalami keguguran dan janinnya belum jelas berbentuk
manusia maka darah yang keluar itu bukanlah darah nifas, tetapi dihukumi sebagai
darah penyakit. Karena itu yang berlaku baginya adalah hukum wanita
mustahadhah.
Minimal masa
kehamilan sehingga janin berbentuk manusia adalah 80 hari dihitung dari mulai
hamil, dan pada umumnya 90 hari. Menurut Al-Majd Ibnu Taimiyah, sebagaimana
dinukil dalam kitab Syarhul Iqna': "Manakala seorang wanita mendapati darah yang
disertai rasa sakit sebelum masa (minimal) itu, maka tidak perlu dianggap
(sebagai nifas). Namun jika
sesudahnya, maka ia tidak shalat dan tidak puasa. Kemudian, apabila sesudah
kelahiran temyata tidak sesuai dengan kenyataan maka ia segera kembali
mengerjakan kewajiban; tetapi kalau tidak teryata demikian, tetap berlaku hukum
menurut kenyataan sehingga tidak pedu kembali mengerjakan kewajiban"
2.
Hukum-hukum
Nifas
Hukum-hukum
nifas pada prinsipnya sama dengan hukum-hukum haid, kecuali dalam beberapa hal
berikut ini:
a.
Iddah. dihitung dengan terjadinya talak, bukan dengan nifas. Sebab, jika
talak jatuh sebelum isteri melahirkan iddahnya akan habis karena melahirkan
bukan karena nifas. Sedangkan jika talak jatuh setelah melahirkan, maka ia
menunggu sampai haid lagi, sebagaimana telah dijelaskan.
b.
Masa ila'. Masa haid termasuk hitungan masa ila', sedangkan masa nifas
tidak.
Ila' yaitu jika
seorang suami bersumpah tidak akan menggauli isterinya selama-lamanya, atau
selama lebih dari empat bulan. Apabila dia bersumpah demikian dan si isteri
menuntut suami menggaulinya, maka suami diberi masa empat bulan dari saat
bersumpah. Setelah sempurna masa tersebut, suami diharuskan menggauli isterinya,
atau menceraikan atas permintaan isteri. Dalam masa ila' selama empat bulan bila
si wanita mengalami nifas, tidak dihitung terhadap sang suami, dan
ditambahkan atas empat bulan tadi selama masa nifas.
Berbeda halnya dengan haid, masa haid tetap dihitung terhadap sang suami.
Berbeda halnya dengan haid, masa haid tetap dihitung terhadap sang suami.
c.
Baligh. Masa baligh terjadi dengan haid, bukan dengan nifas. Karena
seorang wanita tidakmungkinbisa hami sebelum haid, maka masabaligh seorang
wanita terjadi dengan datangnya haid yang mendahului kehamilan.
d.
Darah haid jika berhenti lain kembali keluar tetapi masih dalam waktu
biasanya, maka darah itu diyakini darah haid. Misalnya, seorang wanita yang
biasanya haid delapan hari, tetapi setelah empat hari haidnya berhenti selama
dua hari, kemudian datang lagi pada hari ketujuh dan kedelapan; maka tak
diragukan lagi bahwa darah yang kembali datang itu adalah darah haid.
Adapun darah nifas,
jika berhenti sebelum empat puluh hari kemudian keluar lagi pada hari keempat
puluh, maka darah itu diragukan. Karena itu wajib bagi si wanita shalat dan
puasa fardhu yang tertentu waktunya pada waktunya dan terlarang baginya apa yang
terlarang bagi wanita haid, kecuali hal-hal yang wajib. Dan setelah suci, ia
harus mengqadha' apa yang diperbuatnya selama keluarya darah yang diragukan,
yaitu yang wajib diqadha' wanita haid. Inilah pendapat yang masyhur menunut para
fuqaha ' dari Madzhab Hanbali.
Yang benar, jika
darah itu kembali keluar pada masa yang dimungkinkan masih sebagai nifas maka
termasuk nifas. Jika tidak, maka darah haid. Kecuali jika darah itu keluar
terus menerus maka merupakan istihadhah. Pendapat ini mendekati keterangan yang
disebutkan dalam kitab AI-Mughni' bahwa Imam Malik mengatakan:
"Apabila seorang wanita mendapati darah setelah dua atau tiga hari, yakni sejak berhentinya, maka itu termasuk nifas. Jika tidak, berarti darah haid." Pendapat ini sesuai dengan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
"Apabila seorang wanita mendapati darah setelah dua atau tiga hari, yakni sejak berhentinya, maka itu termasuk nifas. Jika tidak, berarti darah haid." Pendapat ini sesuai dengan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Menurut kenyataan,
tidak ada sesuatu yang diragukan dalam masalah darah. Namun, keragu-raguan
adalah hal yang relatif, masing-masing orang berbeda dalam hal ini sesuai
dengan ilmu dan pemahamannya. Padahal Al-Qur'an dan Sunnah berisi penjelasan
atas segala sesuatu.
Allah tidak pernah
mewajibkan seseorang berpuasa ataupun thawaf dua kali, kecuali jika ada
kesalahan dalam tindakan pertama yang tidak dapat diatasi kecuali dengan
mengqadha'. Adapun jika seseorang dapat mengerjakan kewajiban sesuai dengan
kemampuannya maka ia telah terbebas dari tanggungannya. Sebagaimana firman
Allah:
"Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan..."(Al-Baqarah: 286).
"Maka bertakwalah
kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu ..." (At-Taghabun : 16)
e.
Dalam haid, jika si wanita suci sebelum masa kebiasaannya, maka suami
boleh dan tidak terlarang menggaulinya. Adapun dalam nifas, jika ia suci sebelum
empat puluh hari maka suami tidak boleh menggaulinya, menurut yang masyhur dalam
madzhab Hanbali. Yang benar, menurut pendapat kebanyakan ulama, suami tidak
dilarang menggaulinya. Sebab tidak ada dalil syar'i yang menunjukkan bahwa hal
itu dilarang, kecuali riwayat yang disebutkan Imam Ahmad dari Utsman bin Abu
Al-Ash bahwa isterinya datang kepadanya sebelum empat puluh hari, lalu ia
berkata: "Jangan kau dekati aku !".
Ucapan Utsman
tersebut tidak berarti suami terlarang menggauli isterinya karena hal itu
mungkin saja merupakan sikap hati-hati Ustman, yakni khawatir kalau isterinya
belum suci benar, atau takut dapat mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama
atau sebab lainnya.
Wallahu a 'lam.
sumber: File CHM by Abu 'Abdirrahman Muhammad Taufiq
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentarlah yang santun dan bijak