Rasa takut kepada Allah dan kemuliaan akhlaq kepada semua makhluk
merupakan kekayaan utama para ulama. Lalu mengapa ada ulama jahat? Di masa
Rasulullah belum ada orang yang disebut ulama, walaupun para sahabat Baginda
Nabi Muhammad Salallaahu 'alaihi wa salam banyak yang faqih di bidang agama.
Ali bin Abi Thalib, misalnya adalah seorang yang sangat 'alim, yang karena
ketinggian ilmunya disebut-sebut Rasulullah sebagai baabul 'ilmi, pintunya ilmu
setelah menyebut dirinya sebagai gudangnya ilmu.
Ibnu Mas'ud adalah seorang ahli tafsir. Ia sangat faham isi
al-Qur'an. Bahkan pada masa Rasulullah masih hidup, ia sering diminta untuk
membacakan ayat al-Qur'an agar diengar oleh Rasulullah. Suaranya yang merdu dan
penghayatannya yang mantap, menjadikan Rasulullah menangis hingga meleleh air
matanya membasahi pipinya.
Ibnu Abbas juga demikian. Meskipun ia sangat belia ketika bersama
Rasulullah, tapi kecerdasannya sudah diakui. Bakat keulamaannya sudah dilihat,
bahkan disampaikan Rasulullah kepada sahabat lainnya. Meskipun demikian, mereka
semua tidak pernah disebut-sebut sebagai ulama, karena sebutan "sahabat
Rasulullah" itu jauh lebih tinggi dan mulia dibandingkan dengan sebutan
ulama.
Menyadari arti pentingnya ulama, sejak awal Rasulullah telah
menyiapkan lembaga pendidikan khusus buat mereka. Mereka ditempatnya di serambi
masjid yang setiap saat bisa mendengarkan langsung khutbah, ceramah, dan
dialog-dialog Rasulullah yang lebih banyak dilakukan di mesjid. Rasulullah
secara khusus juga mengajar mereka.
Adalah Abu Hurairah, seorang sahabat yang bergabung dalam barisan
Islam hampir pada masa-masa akhir kehidupan Rasulullah. Akan tetapi karena
intensitasnya bertemu dengan Rasulullah di masjid dan dalam pertemuan-pertemuan
lainnya, maka dari dirinya terkumpul ribuan hadits. Ia adalah perawi hadits
yang sangat produktif. Hal itu sangat dimungkinkan karena setelah keislamannya,
Abu Hurairah mengabdikan sepenuhnya pada ilmu dengan cara hidup di serambi
masjid Nabawi sebagai ahlus-suffah.
Jika pada masa sahabat sudah banyak orang yang layak disebut
sebagai ulama, meskipun tak pernah menyandang gelar ulama, maka pada masa
tabi'in lebih banyak lagi orang yang alim di bidang agama. Demikian juga pada
masa tabi't-tabi'in, jumlah orang yang alim menjadi belipat ganda. Mereka
itulah yang kemudian dikenal dalam khazanah islam sebagai ulama salaf,
sedangkan para ulama yang terlahir setelah priode-priode awal itu disebut
sebagai ulama khalaf. Sebutan salaf dan khalaf tidak lebih dari sekadar istilah
yang membedakan mereka dari segi waktu saja.
Meskipun demikian, karena kedekatannya dengan masa Rasulullah,
perbedaan waktu itu akhirnya juga menjadi sangat penting. Yang berarti bahwa
ulama salaf lebih memiliki otoritas dibandingkan dengan ulama khalaf.
Para ulama, baik yang salaf maupun yang khalaf mempunyai kedudukan
khusus di masyarakat. Meskipun mereka tidak memiliki otoritas dalam kekuasaan
tapi pengaruh mereka sangat kuat. Bisa dikatakan bahwa mereka adalah pemimpin
informal, bahkan pada saat-saat tertentu mereka disebut sebagai penguasa
bayangan.
Posisi strategis ulama inilah yang seringkali menjadi ajang
perebutan. Para penguasa di segala zaman selalu menarik ulama mendekati
kekuasaan. Ada yang berhasil direkrut dan dijadikan alat kekuasaan. Tapi tidak
sedikit di antara mereka yang lebih berhati-hati dengan cara mengambil jarak
dengan kekuasaan. Sebagian lagi lebih suka menjadi oposan, yang selalu
mengambil jalan yang berseberangan dengan kekuasaan.
Ketiga kelompok itu mempunyai alasan masing-masing, sebab jauh
dekatnya mereka dari kekuasaan bukan hal yang subtantif. Yang subtansif adalah,
apakah mereka, baik yang mengambil jalan mendekat atau menjauh dengan kekuasaan
itu telah menjalankan fungsinya sebagai ulama? Apakah dengan kedekatan atau
kejauhan mereka itu bisa menjalankan missinya sebagai ulama?
Rasulullah ketika meninggal dunia tidak mewariskan apa-apa, kecuali
ilmu kepada ummatnya. Para ulama, yaitu orang-orang yang banyak memperoleh ilmu
yang diajarkan Rasulullah, disebut sebagai pewaris nabi. Hadits nabi juga
menyebutnya demikian, "al-'Ulama'u waratsatul anbiyaa, para ulama itu
adalah pewaris para nabi."
Kekayaan Jiwa
Ulama tidak identik dengan orang yang pandai di bidang agama. Memang
penguasaan ilmu menjadi syarat mutlak bagi seorang ulama, namun demikian
integritas dan moralitas justru menjadi hal yang paling utama. Ada dua karakter
kejiwaan yang mutlak dimiliki seseorang yang menjadi pewaris Nabi. Pertama,
rasa takutnya yang hanya kepada Allah melebihi rasa takut yang dimiliki
kaumnya. Kedua, keluhuran akhlaq ulama kepada makhluk Allah melebihi siapapun
di antara kaumnya.
Seperti diketahui bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Ilmu harus
diamalkan, dan bagi ulama setiap amal itu disertai dengan perasaan takut kepada
Allah swt.
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-Nya
hanyalah para ulama." (Faathir: 28)
Rasa takut itu membuat ketaatan para ulama, kecintaannya, serta
ketekunannya menjalankan perintah Allah dan semangat menjauhi larangan-Nya
melebihi yang dimiliki kaumnya.
Selain mewarisi ilmunya, ulama juga mewarisi tugas utamanya. Dalam
kaitan ini Rasulullah pernah bersabda:
"Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlaq
yang mulia." (HR Al-Bazzar)
Tugas utamanya para nabi adalah menyempurnakan akhlaq. Bagaimana
seorang ulama bisa menjalankan tugas ini jika mereka sendiri tidak sempurna
akhlaqnya? Di sini persoalan integritas dan moralitas menjadi sesuatu yang
paling utama. Bagi seorang ulama, antara penguasaan ilmu dan akhlaq tidak bisa
dipisahkan.
Merupakan musibah yang teramat besar jika ummat Islam mengangkat
atau memposisikan seseorang sebagai ulama, sementara integritas dan
moralitasnya masih dipertanyakan. Seleksi pertama para Ulama adalah
moralitasnya, karena posisinya sebagai suluh dan obor masyarakat.
Para pengikut agama samawi (Yahudi dan Nasrani) terdahulu menolak
Islam bukan karena kebodohan mereka, bukan pula karena rusaknya akal pikiran.
Mereka tidak menerima ajaran Islam semata-mata karena kejahatan para ulama
ahlul kitab. Mereka menyembunyikan kebenaran untuk memperoleh sedikit
keuntungan duniawi, baik berupa materi, pengaruh, atau kepentingan sesaaat
lainnya.
Kejahatan para ulama ahlul kitab itu dinyatakan oleh Allah dalam
al-Qur'an:
"Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang
yang diberi al-Kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada
manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya," lalu mereka melemparkan
janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarkannya dengan harga
yang sedikit. Amat buruklah tukaran yang mereka terima." (Ali Imraan: 187)
Pada ayat yang lain Allah berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah
diturunkan Allah, yaitu al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit
(murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya
melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat
dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih. Mereka
itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan
ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menantang api neraka."
(al-Baqarah: 174 - 175)
Bagi Allah, dunia dan segala isinya itu tidak ada harganya.
Artinya, biarkan seseorang memperoleh dunia dan segala isinya dengan cara
menjual agama, tetap akan dikatakan menjual agama dengan harga sedikit. Apalagi
jika yang diperolehnya itu sekedar lembaran rupiah atau jabatan tertentu dalam
sebuah struktur kekuasaan. Sungguh tak bernilai apa-apa di sisi Allah.
Perhatikan hadits berikut ini:
"Perbandingan dunia dengan akhirat itu seperti seorang yang
mencelupkan jari tangannya ke permukaan laut lalu diangkatnya dan dilihatnya
apa yang diperolehnya." (HR Muslim dan Ibnu Majah)
Dalam hadits lain disebutkan bahwa seandainya di sisi Allah dunia
dan seisinya itu lebih bernilai dari seekor lalat, maka kaum kafir tidak akan
mendapatkan bagian sedikitpun dari dunia. Hal ini berarti bahwa imbalan dunia
sebesar apapun tak bisa ditukarkan dengan agama. Penukaran itu bernilai sangat
murah. Hanya orang-orang yang bodoh saja yang mau menukarkan ayat-ayat Allah
dengan dunia.
Mengapa ada yang dibenci?
Dalam kenyataannya, justeru tidak sedikit di antara para ulama yang
menjual ayat-ayat Allah. Dalam sejarah kita saksikan jumlah mereka sangat
banyak, terutama mereka yang menjual dirinya kepada para penguasa. Tugas mereka
tidak lain kecuali membenarkan setiap kebijakan penguasa. Tukang stempel,
pembenar atas semua kehendak raja.
Sikap dan perilaku para ulama semacam itulah yang menjadikan Karl
Marx bangkit dengan kebencian yang luar biasa kepada agama. Agama dipandangnya
tidak lebih dari sekadar candu atau opium bagi masyarakat. Dengan agama yang
dalam hal ini direpresentasikan oleh para pendeta, rakyat tetap tanang meskipun
didzalimi dan dianiaya oleh penguasa dan para pemilik modal.
Ulama seperti ini selalu saja ada pada setiap zaman dan periode
pemerintahan. Sejak dulu hingga sekarang. Tidak saja menimpa pada ulama ahlul
kitab (Yahudi dan Nasrani), tapi juga pada Ulama Islam. Mereka adalah budak
budak para penguasa, yang selalu siap membela tuannya dengan bahasa agama.
Sepintas sulit dibedakan antara ulama yang benar dengan ulama jahat
seperti ini, karena keduanya sama-sama menyitir ayat untuk membenarkan
perbuatannya. Akan tetapi orang segera tahu mana yang jahat dan mana yang benar
jika yang dinilai adalah sikap dan perilakunya. Integritas dan moralitasnya. Di
sini akan nampak sekali perbedaan antara keduanya.
Ulama yang jahat akan membela mati-matian tuannya, walaupun si tuan
benar-benar telah berbuat dan berperilaku menyimpang. Apapun yang dilakukan
tuannya adalah benar, dan selalu dicarikan pembenarannya. Mereka tidak saja
sebagai "Pak Turut", tapi penganjur fanatisme. Seandainya pemimpinnya
yang juga penguasa pada saat itu berkata bahwa langit berwarna merah, merekapun
membenarkannya.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa tidak jarang ulama yang
mengajak ummatnya masuk ke jurang neraka dengan menggunakan bahasa agama. Jika
setan dan para pengikutnya mengajak manusia ke neraka dengan bujukan, rayuan,
dan ancaman, maka ulama model ini megajak manusia ke neraka dengan mengutip
ayat dan hadits. Inilah yang diperingatkan oleh Allah:
"Sesungguhnya mereka memerintahkan kepadamu berbuat jahat dan
keji, dan (memerintahkan) agar kamu sekalian mengucapkan atas nama Allah
apa-apa yang kalian tidak mengetahuinya." (al-Baqarah: 169)
Masih saja dijumpai sampai saat ini ulama yang berapi-api mengutip
ayat al-Qur'an dan hadits nabi untuk menghalalkan darah saudaranya sendiri.
Mereka mengajak ummatnya untuk membenci kepada seorang Muslim dengan kebencian
yang nyata. Tak tanggung-tanggung merekapun menghalalkan darah seseorang atas
nama jihad. Padahal telah diketahui bahwa pembunuhan di antara kaum Muslimin
merupakan perbuatan dosa, bahkan si pembunuh dan yang terbunuh sama-sama masuk
neraka. Jika si terbunuh dan si pembunuh sama-sama masuk neraka, bagaimana
dengan orang yang memerintahkan pembunuhan? Ulama ternyata tidak sedikit yang
berperan ganda. Di satu sisi sebagai pemimpin ummat, di sisi lain sebagai
provokator.
Pada khutbah terakhir di waktu hijjul wada, Rasulullah Saw berseru:
"Sesungguhnya darah dan harta kalian adalah haram atas sesama kalian,
sebagaimana haramnya hari kalian ini, pada bulan kalian ini, di negeri kalian
ini".
Berbagai kerusuhan terjadi, mulai dari zaman Utsman bin Affan, Ali
bin Abi Thalib, hingga sekarang ini selalu bermula dari provokasi para pemimpin
agamanya. Yang satu berfatwa menghalalkan darah musuh politiknya, sementara
yang lain juga melakukan hal yang sama. Inilah awal dari segala bencana.
Kekerasan akhirnya menjadi satu-satunya pilihan untuk membela sang penguasa.
Bencana apalagi yang lebih besar dari musibah seperti ini? Ketika
Ulama sudah beralih fungsi menjadi provokator, memanas-manaskan situasi yang
sudah panas, maka terjadilah kekerasan, pemerkosaan hak, pemaksaan kehendak,
dan kerusuhan massal. Sejarah mencatat berkali-kali peristiwa seperti ini.
Atas dasar catatan sejarah dan kenyataan yang ada saat ini, banyak
di antara kaum Muslimin yang akhirnya dihinggapi fobia jika melihat ulamanya
berpolitik. Posisi ulama yang sangat strategis di tengah masyarakat seringkali
diselewengkan untuk kepentingan-kepentingan sesaat, yaitu membela penguasa yang
tak ada jaminan kebenarannya. Mereka beralih dari membela yang benar menjadi
membela yang membayar.
Dalam al-Qur'an dijumpai berbagai perumpamaan. Ulama yang menguasai
ilmu agama, selalu bicara atas nama agama, tapi tidak mengamalkannya, karena
lebih condong kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya, dimisalkan al-Qur'an
sebagai anjing. Sebagaimana firman Allah:
"Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan
(derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan
memperturutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing.
Jika kamu menghalau, diulurkan lidahnya, dan jika kamu membiarkannya ia
mengulurkan lidahnya juga. Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu
agar mereka berfikir." (al-A'raaf: 176)
sumber : Suara Hidayatullah
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentarlah yang santun dan bijak