Tak satu pun sifat yang paling diminati seorang calon pemimpin
melebihi adil. Bagaikan bentangan layar, adil menggerakkan seluruh potensi
kapal kepemimpinan seseorang menuju arah yang diinginkan. Tanpanya, kapal
kepemimpinan hanya terombang-ambing di samudera masalah yang begitu luas.
Semua kita adalah pemimpin. Dan, semua pemimpin punya tanggung
jawab kepemimpinan. Rasulullah saw. bersabda, “Semua kamu adalah pemimpin dan
bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang suami pemimpin dalam
keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang isteri pemimpin
dan bertanggung jawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang pelayan (pegawai)
bertanggung jawab atas harta majikannya. Seorang anak bertanggung jawab atas
penggunaan harta ayahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Seperti itulah Islam memberikan tantangan pada kita untuk
senantiasa memaknai kehidupan menjadi tingkat yang lebih tinggi. Bahwa,
kehidupan bukan untuk menyendiri dan berusaha tak peduli dengan sekitar.
Kehidupan adalah tanggung jawab.
Salah satu tanggung jawab yang selalu melekat dalam jiwa seorang
mukmin adalah adil. Di situlah seorang mukmin bukan sekadar berhadapan dengan
amanah dan tanggung jawab, tapi juga memaknai tanggung jawab pada nilai
tertinggi.
Selama jiwa kepemimpinan seseorang masih hidup, sifat adil akan
selalu menjadi takaran. Sebagai apa pun. Walau sebagai pemimpin terhadap diri
sendiri. Mampukah kita adil menata hak-hak yang ada pada diri kita. Dan
ketidakadilan sangat berbanding lurus dengan ketidakseimbangan diri.
Orang yang mudah sakit misalnya, berarti ia sedang mengalami
ketidakseimbangan. Ini berarti ada ketidakadilan pada diri. Boleh jadi, ada
hak-hak anggota tubuh yang terabaikan. Ketidakadilan menjadi tubuh menjadi
tidak seimbang. Dan ketidak seimbangan membuat diri menjadi rusak dan sakit.
Pendek kata, sakit adalah ungkapan tubuh untuk menuntut pemenuhan hak salah
satu anggota tubuh dengan cara paksa.
Mencermati keadilan pada diri akan menggiring kita untuk senantiasa
mengukur dan menakar: mampukah kita masuk pada tanggung jawab yang lebih. Atau,
belum. Kemampuan mengukur dan menakar ini pun buah dari sifat adil diri kita.
Jika kita lengah dalam masalah ini, kelak kita bukan hanya menzhalimi diri
sendiri, tapi juga orang lain.
Seperti itulah mungkin, Allah swt. menggiring kita untuk senantiasa
mencermati keseimbangan. Lihatlah alam raya yang begitu seimbang. Tertata rapi,
indah, dan sempurna. Dan itulah bukti keadilan Allah tegak di alam ini. Kalau
alam yang pada awalnya seimbang, kenapa manusia dan masalahnya yang juga bagian
dari alam tidak mampu adil dan seimbang. Apa yang salah?
Allah swt. berfirman dalam surah Ar-Rahman ayat 5 hingga 13.
“Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Tumbuh-tumbuhan dan
pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya. Dan Allah telah meninggikan
langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas
tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah
kamu mengurangi neraca itu. Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk(Nya).
Di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang. Dan
biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya. Maka, nikmat Tuhan
kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
Tuntutan berlaku adil akan lebih kencang ketika kepemimpinan masuk
pada wilayah publik. Variabel-variabel yang dihadapi kian meluas. Ia bukan
hanya harus mampu menata sifat adil dalam pertambahan jumlah objek, tapi juga
pada mutu.
Boleh jadi, seseorang mampu adil terhadap objek yang banyak, tapi
tidak mampu menjaga mutu adil ketika banyak rongrongan dan tuntutan datang
bertubi-tubi. Dan itu sebagai sebuah kemestian pada wilayah publik yang
heterogen dan majemuk.
Kadang, kita terpaksa mengakui bahwa manusia memang makhluk yang
unik. Sifat adil pada manusia bisa terlahir pada susunan yang bukan hanya
berbentuk seri, tapi juga paralel. Artinya, ada manusia yang mampu adil pada
kepemimpinan di masyarakat, tapi gagal pada diri dan keluarga.
Boleh jadi, keunikan ini tidak berlaku pada umumnya manusia. Karena
biasanya, orang yang gagal berlaku adil pada diri, akan sulit bersikap adil
dalam kehidupan keluarga. Terlebih lagi dalam masyarakat dan negara. Inilah
kenapa para pemimpin yang zhalim pada rakyatnya, pasti menyembunyikan masalah
berat yang sedang terjadi antara ia dan keluarganya.
Seperti itulah dengan pemimpin Mekah di masa Rasulullah saw., Abu
Sufyan semasa jahiliyahnya. Belakangan, baru terungkap dari mulut isterinya,
Hindun, bahwa sang suami begitu kikir dengan uang belanja. Sehingga tak jarang,
Hindun mencuri uang suaminya ketika sang suami lengah. Ada masalah
ketidakadilan antara Abu Sufyan dengan Hindun, isterinya.
Hal inilah yang mungkin pernah dikhawatirkan Rasulullah saw. ketika
isteri-isteri beliau menuntut hak yang lebih baik. Mereka merasa kalau
kehidupan yang diberikan Rasulullah teramat sederhana. Beliau saw. khawatir
hanya bisa mampu adil pada umat dan negara, tapi tak begitu dengan urusan rumah
tangga sendiri. Beliau begitu bingung hingga mengurung diri beberapa hari.
Akhirnya, Allah sendiri yang memberikan jawaban buat para isteri Nabi.
“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, ‘Jika kalian
menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, kemarilah, akan aku berikan
kesenangan kepada kalian dan aku akan menceraikan kalian dengan cara yang baik.
Dan jika kalian menghendaki keridhaan Allah dan Rasul-Nya serta kesenangan di
negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah telah menyediakan bagi siapa yang
berbuat baik di antara kalian, pahala yang besar.” (QS. 33: 28-29)
Sedemikian bersihnya kepemimpinan Rasulullah saw. Tapi, toh, beliau
mesti menghadapi tuntutan mutu keadilan yang lebih berat dan rumit. Apalagi
jika kepemimimpinan sudah terkontaminasi dengan kepentingan. Ini akan jauh
lebih rumit. Akan selalu muncul kecenderungan yang menggiring seseorang untuk
berada pada satu tepi timbangan, dan lengah dengan tepi yang lain.
Boleh jadi, emosi menggiring seseorang hingga ia tak lagi mampu
berlaku adil. Kebencian terhadap sesuatu kerap membuat seorang pemimpin
mengurangi timbangan pada sesuatu itu. Di saat itulah, bentangan layar
keadilannya timpang. Kapal kepemimpinan pun bukan hanya tak sampai tujuan.
Bahkan, bisa tenggelam pada samudera masalah terus bergelombang.
sumber :pustka islami
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentarlah yang santun dan bijak